Jumat, 14 Desember 2012

Biografi Syekh Ihsan Dahlan Al-Jampesi


Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes
Ny. Isti’anah + KH. Saleh
Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
1. Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
2. Pondok Pesantren Jamseran Solo,
3. Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4. Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
5. Pondok Pesantren Punduh Magelang
6. Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7. Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah:
(1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban;
(2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar;
(3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap;
(4) KH. Busyairi di Sampang Madura;
(5) K. Hambili di Plumbon Cirebon;
(6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
  1. Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
  2. siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
  3. Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
  4. Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.

Kamis, 13 Desember 2012

Biografi KH. Mushlih Bin H. Abdurrozi Azamatkhon


SILSILAH NASAB

SARSILAH RDK.H.MUSHLIH AZAMATKHON KARAWANG DARI PIHAK AYAH VERSI BANY HASYIM :

NABI MUHAMMAD SAW. nikah dengan SAYYIDAH KHODIJAH AL-KUBRO berputra :
SAYYIDAH FATIMAH AZ-ZAHRO nikah dengan  SAYYIDINA ALI BIN ABY THOLIB KWH. berputra :
IMAM MAULANA HUSAIN AS. berputra :
IMAM A`LI ZAINAL ABIDIN AS-SAJJAD , berputra :
IMAM MUHAMMAD BAQIR , berputra :
IMAM JA`FAR SHODIQ , berputra :
IMAM A`LI U`ROIDHY , berputra :
IMAM MUHAMMAD NAQIIB, berputra :
IMAM I`SA AR-RUMY , berputra :
IMAM AHMAD AL-MUHAAJIR , berputra :
IMAM U`BAIDILLAH , berputra :
IMAM A`LWI , berputra :
IMAM MUHAMMAD , berputra :
IMAM A`LWI TSANI , berputra :
IMAM A`LI KHOLI` QOSAM , berputra :
IMAM MUHAMMAD SHOHIB MARBATH , berputra :
IMAM A`LWI TSALITS , berputra :
IMAM ABDUL MALIK AZAMATKHON , berputra :
IMAM ABDULLAH AZAMATKHON , a Puputra :
IMAM AHMAD SYAH JALAAL AZAMATKHON , berputra :
IMAM JAMAALUDDIN HUSAIN AZAMATKHON , berputra :
IMAM BARKAT ZAINUL A`LAM AZAMATKHON , berputra :
IMAM A`LI NURUL A`LAM AZAMATKHON , berputra :
RAJA ABDULLAH AZAMATKHON , berputra :
SUNAN GUNUNG JATI RADEN SYARIF HIDAYATULLOH CIREBON, berputra :                SULTAN  SABAKINGKIN MAULANA HASANUDDIN, berputra :                                            SULTAN MAULANA YUSUF, berputra :                                                                                        MAULANA MUHAMMAD NASIRUDDIN , berputra :                                                                 SULTAN MAHMUD ABDUL MAFAHIR ( SULTAN ABDUL QODIR ) , berputra :                    SULTAN ABUL MA`ALI ( SULTAN AHMAD ) , berputra :                                                   SULTAN AGENG TIRTAYASA ABDUL FATAH, berputra :                                                          PANGERAN SAKE  ( PANGERAN SALEH ), berputra :                                                                  RD.THUBAGUS BIDIN, berputra :                                                                                                  RD.SAYIDIN , berputra :                                                                                                                  RD.H.ABDUL KARIM ( MBAH SARNEHA )  , berputra :                                                          RD.H.ABDUR ROZI ( MBAH PENGHULU KADAR ) , berputra :                                              RD.K.H.MUSHLIH AZAMATKHON

SARSILAH RDK.H.MUSHLIH AZAMATKHON KARAWANG DARI PIHAK IBU VERSI KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN :

PRABU SILIWANGI / SRI BADUGA MAHA RAJA ( WALIYULLOH JAYA DEWATA RADEN PAMANAH RASA ) (1459-1521M)
MAQOMNA DI RANCAMAYA NGAHIANG ( MENGHILANG  TANPA JEJAK) – BOGOR, NIKAH KA NYIMAS SUBANG LARANG / NYIMAS SEKAR KENCANA BINTI KI GEDENG TAPA  berputra :
SYARIFAH MUDA`IM NYIMAS LARA SANTANG berputra :
SUNAN GUNUNG JATI RADEN SYARIF HIDAYATULLOH CIREBON, berputra :                SULTAN  SABAKINGKIN MAULANA HASANUDDIN, berputra :                                            SULTAN MAULANA YUSUF, berputra :                                                                                        MAULANA MUHAMMAD NASIRUDDIN , berputra :                                                                 SULTAN MAHMUD ABDUL MAFAHIR ( SULTAN ABDUL QODIR ) , berputra :                    SULTAN ABUL MA`ALI ( SULTAN AHMAD ) , berputra :                                                   SULTAN AGENG TIRTAYASA ABDUL FATAH, berputra :                                                          PANGERAN SAKE  ( PANGERAN SALEH ), berputra :                                                                  RD.THUBAGUS BIDIN, berputra :                                                                                                  RD.SAYIDIN , berputra :                                                                                                                  RD.H.ABDUL KARIM ( MBAH SARNEHA )  , berputra :                                                          RD.H.ABDUR ROZI ( MBAH PENGHULU KADAR ) , berputra :                                              RD.K.H.MUSHLIH AZAMATKHON

NAMA PANGGILAN RD.K.H.MUSHLIH AZAMATKHON

Hadratus Syekh KH. Mushlih bin H. Abdurrozi yang lebih dikenal dengan panggilan Mama Ajengan Jenggot, lahir pada tahun 1905 M di Desa Loji, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, dari seorang ibu bernama Hj. Romlah. Ayahnya bernama H. Abdur Rozi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Embah Penghulu Kadar. Keduanya merupakan keturunan dari Syekh Maulana Hasanudin, Banten. Semasa kecil Hadratus Syekh lebih dikenal dengan nama Den Enoh.


MASA BELAJAR

Pada awalnya beliau belajar kepada K.H. Masduki dari Waru, Pangkalan. Kemudian ke Citeko dan Cibogo, Plered. Lalu ke Pesantren Cigondewa , ke Mama Gedong (Ama Dimyati) Sukamiskin, Bandung, serta ke KH. Zaenal Mustofa, Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Sedangkan di bidang ilmu alat beliau belajar di Pesantren Sukaraja, Limbangan, Garut.

Beliau juga tercatat sebagi santri pertama Pesntren Cipasung, Tasikmalaya, karena KH. Ruchyat, pendiri pesantren tersebut bersama-sama dengan beliau belajar di Sukamanah.

Ketika KH. Ruchyat pulang dan mendirikan pesantren Cipasung, Hadratus Syekh ikut dan menjadi santri pertamanya, sekaligus menjadi ustadz / guru bagi santri baru.

Beliau juga pernah belajar ke KH. Thubagus Mansyur (Paman beliau) di Ciserang Ujung Timur, Desa Cibogo Girang, Plered, Purwakarta, untuk memperdalam ilmu silat disamping ilmu-ilmu agama, dan ilmu silat ini juga beliau dapatkan dari orang tuanya.

Dalam bidang thariqah, beliau mengambil Thariqah Qadiriyah dan bersanad ke KH. Sujai, Buah Batu, Bandung (salah seorang tokoh pendiri UNINUS Bandung), dan KH. Ja’far Shadik, Sukamiskin, tetapi tidak diketahui kepada siapa beliau berguru / mendapat ijazah thariqah, namun beliau tabaruk thariqah ke Sukamiskin, Bandung.

Dalam bidang ilmu dalail dan ilmu hikmah beliau berguru kepada Ama Ajengan (Eyang) Rende (KH. Ahmad Zakariya bin H. Muhammad Syarif), salah seorang guru yang sangat dekat dengan beliau dan pernah mukim di Masjidil Haram selama 21 tahun.


AKTIVITAS

Pada tahun 1938 Hadratus Syekh KH. Mushlih mulai mendirikan Pondok Pesantren di Telukjambe (Wisma Kerja PERURI sekarang). Mungkin ini merupakan pondok pesantren pertama di Telukjambe, bahkan di Karawang.

Satu hal yang patut diacungi jempol, beliau menidirikan pondok pesantren tanpa meminta sumbangan dari masyarakat, tetapi betul-betul dari hasil berdagang, karena beliau terkenal gesit dan tekun berdagang. Bakat dagang ini telah terlihat sejak beliau masih kecil, yaitu suka membantu neneknya berjualan ikan peda.

Beliau biasa berjualan minyak wangi dan arloji (jam tangan) dengan naik sepeda sambil keliling mengisi majelis-majelis pengajian yang tersebar di Kabupaten Karawang, antara lain ke Desa Jatiragas Kecamatan Jatisari, Desa Langseb Kecamatan Pedes dan Rawamerta (yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Nihayatul Amal).

Konon kabarnya beliau juga pernah menjadi Penghulu di Telukjambe.

Antara tahun 1943-1945 atas panggilan gurunya, yaitu KH. Zaenal Mustofa, beliau berangkat ke Tasikmalaya dan ikut terlibat dalam perlawanan santri Singaparna melawan kolonial Jepang, yang terkenal dalam sejarah sebagai Tragedi Singaparna yang mengakibatkan gugurnya KH. Zaenal Mustofa dalam penyiksaan tentara Jepang, akibat tipu muslihat Jepang.

Sepulangnya dari Singaparna, Hadratus Syekh bersama keluarga pindah ke Loji dan santri di Telukjambe dibubarkan. Tetapi kemudian beliau mendirikan pesantren lagi di sekitar pasar Loji sekarang.

Pada tahun 1950, beliau pindah lagi ke Telukjambe (di depan Mesjid Jamie Al-Ikhlas sekarang), dan pada tahun 1976 mendirikan Mushola Al-Mushlih dengan bantuan bahan bangunan dari proyek pembangunan Asrama Kostrad 324.

Ketika PSII dan PERTI keluar dari Masyumi, NU juga keluar yang dinyatakan dalam Kongres di Palembang. Sebagai seorang Kiyai pesantren beliau mengikuti wadah NU, dan pernah datang ke H. Kustana (Ayah KH. Abdul Muhyi) berpesan supaya sejalan dalam berfikir dengan sikaf NU.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Hadratus Syekh KH. Mushlih layak disebut sebagai Tokoh Ulama Pejuang.

Pada hari Selasa, tanggal 15 Sya’ban 1405 H / 1985 M dalam usia ± 80 tahun, beliau dipanggil ke haribaan Allah SWT. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Sebelum wafat beliau mewakafkan sebidang tanah seluas ± 3.850 meter persegi yang disediakan bagi cucunda beliau KH. Nandang Qusyaerie, SH untuk dibangun Pondok Pesantren. Alhamdulillah, sejak tahun 1999 berdirilah secara resmi pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren Al-Mushlih, sebagaimana yang bapak/ibu saksikan sekarang ini.


PESAN-PESAN HADRATUS SYEKH

“Kalau kita berdo’a jangan mengingat apa yang kita inginkan (kebutuhan/hajat), tetapi kita hanya mengingat bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah Azza wa Jalla”.

“Jika kita mendapat suatu asror (Inkisyaf), jangan tertipu oleh hal itu (jangan terpengaruh), karena tujuan kita hanya Allah".
خشوع شهود خـضورالقـلب

“Supaya tidak mandek (vacum) menjalankan ibadah ubudiyah, terus hadir hati kepada Allah, Dzikir Wahid, yaitu hanya mengingat Allah Rabbul ‘Alamin”.

“Kita harus suluk, wushul, minimal ikhlash, dan juga tabarri”.

“Kita antara qadar dan ikhtiar, itulah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu aqidah yang berpegang teguh dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW, para Shahabat r.a., para Tabi’in, para Ulama Salaf dan Khalaf serta para Ulama Mutaakhirin.

“Shalat itu ada yang dinamakan Shalat Qaim, yaitu shalat 5 waktu yang biasa dilaksanakan, dan Shalat Daim, yaitu shalat sepanjang masa (seumur hidup) dengan jalan senantiasa ingat kepada Allah (dzikrullah)”.